Kesadaran Penggunaan Bahan Halal Kue Rendah

Halal, bukan hanya tidak mengandung babi. Banyak bahan-bahan yang haram untuk dikonsumsi, misalnya arak, minuman yang mengandung alkohol, binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Namun, tidak semua muslim di Batam belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk ini. Sehingga, kesadaran umat Islam untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal dan thoyib ini masih rendah.

Pemilik Audya Seow Cake & Bakery Shop, Belia Van Sarbinas mengatakan banyak masyarakat Batam yang masih menggunakan rum untuk pembuatan kue seperti black forest. Padahal, ia telah menyarankan kepada pelanggan untuk menggunakan bahan pengganti yang telah bersertifikat halal. ’’Namun mereka masih ngotot untuk menggunakan bahan yang menggunakan rum untuk bahan kuenya. Sehingga kue yang dibuat tersebut otomatis menjadi haram untuk dikonsumsi,’’ paparnya.

Saat mengunjungi tokonya yang berlokasi di Pertokoan Penuin Centre Blok E No 4 Batam, Buletin Jumat mendapati bahan-bahan yang dijual tidak berlabel halal. Seperti rum dan coklat yang banyak digunakan untuk pembuatan kue. Atas penemuan ini, Yayasan Lembaga Konsumen Muslim Batam (YLKMB) melakukan advokasi agar penjual dapat mengganti bahan-bahan yang dijualnya yang bersertifikat halal.

Atas advokasi ini, Belia merasa bersyukur dan berusaha untuk mencari pengganti bahan-bahan pembuat kue tersebut yang bersertifikat halal. Selain itu, Belia juga mengatakan bukan hanya penjual kue, banyak juga restourant yang tidak memiliki sertifikat halal, namun telah menyatakan produk yang dijualnya adalah halal.’’Sehingga pada masa yang akan datang saya berkeinginan membuat restourant yang bersertifikat halal,’’ ujarnya.

Lengkapi Sertifikat Halal

Berdasarkan pantauan Buletin Jumat di Mega Mall Batam Center, sejumlah bakery shop telah melengkapi sertifikat halal seperti Bread Talk. Sedangkan J Co belum menunjukan sertifikat halal di restonya. Beberapa pengusaha lainnya juga telah menunjukan label halal seperti Dyan Bakery.

Berdasarkan pantauan ini, Ketua YLKMB Imballo Iman Sakti mengimbau kepada konsumen untuk peduli mengkonsumsi produk yang telah memiliki sertifikat halal.(***)

Latar Belakang Pem-’’bajak’’-an Karya Anak Bangsa

Dalam buku Mangaradja Onggang Parlindungan dalam judul Tuanku Rao, Laksamana Hang Tuah dan Laksamana Hang Lekir disebutkan di dalam sejarah Melayu selaku laksamana-laksamana Kesultanan Malaka (1383-1511), yang gagah perkasa menyerang tentara Majapahit pimpinan Gadjah Mada di laut Jawa.
Namun dari sumber Kesultanan Aru / Barumun (1299-1512), pada periode 741-767 H (=1341-1365 M) Laksamana Hang Tuah dan Laksamana Hang Lekir mengamankan kesultanan Aru / Barumun dari agresi kerajaan Majapahit. Mana kedua sumber sejarah ini yang benar? Jawabannya, di waktu pemerintahan Gadjah Mada, kesultanan Malaka belum ada. Nama Hang Tuah dan Hang Lekir juga tercatat dalam sejarah Indonesia. Di Jakarta kedua nama laksamana tersebut dijadikan nama jalan yakni Jalan Hang Tuah dan Jalan Hang Lekir.
Tulisan di atas merupakan salah satu contoh bahwa Malaysia bukan hanya mem-’’bajak’’ karya seni seperti lagu daerah Rasa Sayange dan “Indang Sungai Garinggiang dari Minangkabau – Sumatera Barat. Pem-’’bajak’’-an ini wajar terjadi karena dalam sejarahnya ratusan tahun silam banyak orang Batak maupun orang Minang yang hijrah ke Malaysia.
Batak di Malaysia
Pada abad ke 19, lebih kurang 300 hingga 600 orang Batak migrasi ke Singapura dan Pulau Pinang. Hasil daripada proses migrasi hamba Batak, berkembanglah populasi Batak di Malaysia, terutamanya di kawasan Utara Semenanjung Malaysia. Diskripsi fisikal masyarakat Batak yang gelap, berbadan tegap dan berambut keriting dapat dikesan di Utara Semenanjung sehingga kini.
Namun dari segi keagamaan dan kepercayaan, masyarakat Batak di Malaysia sudah terpisah sama sekali daripada ikatan adat dan kepercayaan masyarakat Batak di Sumatra yang masih bersifat animistik dan Javaistik. Superioriti ‘adat’ digantikan dengan ‘agama Islam’ bagi masyarakat Batak di Malaysia.
Corak hidup dan pemikiran masyarakat Batak di Malaysia, baik di Pulau Pinang, Perak, Pahang maupun Kelantan tidak lagi merefleks budaya dan adat masyarakat Batak asal dari Sumatra.
Dan ternyata banyak sekali orang Mandailing (Batak) yang pernah dan masih menduduki jabatan penting di Malaysia. Beberapa di antaranya adalah Datuk Harun Harahap yang pernah menjabat sebagai Menteri Besar, Tan Sri Muhammad Taib Nasution yang Gubernur Selangor, Tun Mohammad Hanif Nasution yang pernah menjabat sebagai Ketua Polis Diraja Malaysia (semacam Kepala Polri), dan Tun Daim Batubara yang pernah menjabat Menteri Keuangan.
Minang di Malaysia
Selain itu, hubungan dekat Negeri Sembilan dengan Sumatera Barat telah terjalin sejak ratusan tahun lalu. Ketika Pelabuhan Port Dickson mulai dikembangkan pada abad ke- 15, maka berbondong-bondonglah orang dari luar yang masuk dan mencoba peruntungan di Negeri Sembilan. Termasuk di antara mereka yang masuk melalui Port Dickson adalah para perantau dari Sumatera Barat.
“Menurut orang-orang tua kami dulu, para leluhur kami mulai masuk di kala Kerajaan Pagaruyung berjaya di Tanah Minangkabau, yakni sekitar tahun 1718,” kata Fauzi – warga negara Malaysia turunan Minang.
Berbagai data yang ada menyebutkan, Pagaruyung merupakan ibu kota Kerajaan Minangkabau zaman dulu, terletak di Provinsi Sumatera Barat bagian tengah. Dalam Perang Paderi, Pagaruyung yang semula dikuasai oleh kaum Paderi kemudian dihancurkan oleh penjajah Belanda sehingga perkembangannya merosot drastis dan kini menjadi satu kota kecil saja.
Data lain menyebutkan, dengan meninggalnya Sultan Achmad Syah, Raja Minangkabau keturunan Hindu-Jawa yang telah masuk Islam, sekitar tahun 1679, terjadilah perang perebutan kekuasaan. Perang di Pagaruyung ini terjadi antara keturunan raja Hindu-Jawa dan para pengikutnya di satu pihak dengan para penguasa di Sungai Tarab dan Batipuh di lain pihak. Perang saudara ini berakhir dengan kemenangan di pihak Sungai Tarab dan Batipuh. Pada tahun 1773, Raja Malewar dari dinasti Pagaruyung menjadi Vice-Roy Negeri Sembilan / Malaya yang pertama.
Perpindahan masyarakat Minang ke Negeri Sembilan juga dengan membawa seluruh tradisi, termasuk arsitektur rumah bagonjong (bertanduk). Ketika ada perhelatan dengan menggunakan pakaian adat, misalnya, akan ditemukan banyak wanita Seramban ataupun Negeri Sembilan menggunakan penutup kepala bagonjong seperti pakaian adat Minangkabau. Arsitektur Museum Seramban juga model rumah besar bertanduk, rumah gadang bagonjong, seperti yang banyak ditemui di Sumatera Barat.(berbagai sumber)

Antara Rasa Sayange dan Negaraku

Konsulat Jenderal RI di Osaka melayangkan surat protes kepada Direktur Malaysian Tourism Office di Osaka, menyusul penggunaan kembali lagu daerah Indonesia dalam acara Asia Festival 2007 yang berlangsung di Osaka pada pertengahan Oktober lalu.
Konsul Jenderal RI Pitono Purnomo mengemukakan hal itu di Tokyo, Kamis, ketika dikonfirmasi mengenai aksi “pembajakan” tersebut.
Menurut informasi yang diperoleh, penggunaan lagu Indonesia itu diketahui saat berlangsungnya acara Asia Festival 2007 yang diikuti oleh Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia dan Malaysia pada 12-14
Oktober lalu.

Salah seorang staf konsulat Jenderal Osaka ketika itu tengah menyaksikan penampilan tim kesenian Malaysia “Cinta Sayang” pada 14 Oktober lalu. Salah satu tarian yang ditampilkan Malaysia menggunakan iringan musik yang berasal dari Sumatera Barat (Sumbar), yaitu “Indang Sungai Garinggiang”.
Guna memastikan, pihak konjen RI Osaka menghubungi berbagai pihak di Jakarta dan juga tokoh-tokoh masyarakat asal Sumatera Barat dan diperoleh kepastian bahwa pencipta lagu “Indang Sungai Garinggiang” adalah Tiar Ramon, seniman musik dan penyanyi asal Sumbar pada tahun 1981.

Menurut keterangannya, lagu itu diciptakan atas permintaan Pemda Sumbar untuk digunakan sebagai musik pengiring “Tari Indang”. Lagu itu diperkenalkan pertama kali dipertunjukkan secara nasional pada upacara pembukaan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) tingkat nasional di Padang pada tahun 1983.
Sebelumnya lagu daerah asal Maluku “Rasa Sayange” juga dibajak oleh Negara tetangga itu
Di Malaysia, lagu Rasa Sayange ini dikenal dengan judul ‘Rasa Sayang’.
Lirik lagu Rasang Sayang ini tidak terdapat kata ‘Sayange’. Yang ada kalimat ‘Sayang Hey’.
Berikut sebagian lirik ‘Rasa Sayang’:
Rasa Sayang
Hey, Rasa sayang sayang
Hey, Lihat non jauh rasa sayang
sayang hey
Jalan-jalan ke Pasar Malam
Macam-macam boleh dicari
Malaysia harmoni indahnya alam
Jemputlah rakan datang kemari

Bahkan, lagu ‘Terang Bulan’ yang juga terkenal di Indonesia juga terdengar di Malaysia. Kabarnya nada lagu Terang Bulan dijadikan lagu Kebangsaan Malaysia.
Terang Bulan (original song)

Terang bulan
Terang bulan di kali
Buaya timbul disangkalah mati
Jangan percaya mulutlah lelaki
Berani sumpah ‘tapi takut mati
Jangan percaya mulutlah lelaki
Berani sumpah ‘tapi takut mati

Waktu potong padi di tengah sawah
Sambil bernyanyi riuh rendah
Memotong padi semua orang
Sedari pagi sampai petang

Waktu potong padi di tengah sawah
Sambil bernyanyi riuh rendah
Bersenang hati sambil bersuka
Tolonglah kami bersama sama

Negaraku

Negaraku, tanah tumpahnya darahku,
Rakyat hidup, bersatu dan maju,
Rahmat bahagia, Tuhan kurniakan,
Raja kita, selamat bertakhta.
Rahmat bahagia, Tuhan kurniakan,
Raja kita, selamat bertakhta.

Hak Cipta

Terkait dengan pelindungan hak cipta, baik aturan di Indonesia maupun di Malaysia memiliki kesamaan.
Di Malaysia, aturan tentang hak cipta terdapat dalam Akta Hak Cipta No 332 tahun 1987.
Pada bagian III seksyen 13 disebutkan, hak cipta mengenai karya sastra, muziek atau seni, filem atau rekaman bunyi adalah hal eksklusif bagi mengawal dalam Malaysia —
a. Pengeluaran semula dalam bentuk bahan.
b. Penyampaian kepada awam,
c. Siaran;
d. Perhubungan melalui kabel;
e. Pengedaran kepada awam.
Jadi pada prinsipnya pengakuan hak cipta timbul jika karya tersebut diumumkan di depan publik.
Sekarang, tinggal bagaimana langkah pemerintah untuk mengumpulkan bukti yang menguatkan bahwa karya seni yang digunakan Malaysia adalah milik Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pengarsipan data karya seni anak negeri dengan baik. (berbagai sumber)

Berdoa Bersama Turunan Raja Pattani

Rencana kunjungan kami ke Singapura, Malaysia dan Thailand adalah mengikat tali silaturahim yang selama ini agak renggang karena situasi politik di negara masing-masing, terutama Thailand Selatan yang ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Pemerintah Thailand.  

Setelah makan malam dan menjalankan shalat tarawih di Yala, kami melanjutkan silaturahim dengan saudara sesama muslim di Yala College dan Pattani. Kami menjalankan shalat tarawih di pusat masjid Yala. Masjid ini ramai dikunjungi, kebetulan kami di sana saat sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Masjid di Yala menjalankan shalat tarawih dengan membaca Al Quran satu jus tiap malam, sehingga selama sebulan Ramadhan satu Al Quran telah terbaca. Masjid yang cukup besar ini disebut sebagi pusat jamaah tabligh – (suatu ajaran yang mengedepankan tentang fadilah dan berpusat di India).

Pagi harinya, bersama dengan Naser kami mengunjungi Yala College – Perguruan Tinggi Pertama di Thailand Selatan. Kami diterima Dr. Ahmad Umar Capakiya, Rektor College tersebut.

Kehadiran kami tentunya mengagetkan alumni Universitas Malaysia (UM) tersebut. Perbincangan dimulai dengan perkenalan dan maksud kedatangan serta mengingatkan bahwa sebelumnya pernah mengunjungi universitas tersebut saat peresmiaanya.

Yala College yang memiliki sekitar 3.000 (tiga ribu) mahasiswa ini mendapat bantuan langsung dari negara-negara timur tengah. ”Ini merupakan tempat duduk penasehat raja Arab Saudi,” ujarnya dengan bangga.

Setelah lima tahun, perkembangan perguruan tinggi ini begitu pesat, beberapa bangunan megah telah berdiri di tanah yang merupakan waqaf dari umat ini.

Perjalanan kami lanjutkan dengan mengunjungi anggota Muhammadiyah di madrasah di Yala. Madrasah ini memiliki masjid yang cukup besar. Lantainya pun terbuat dari marmer yang terkesan utuh tanpa tampak adanya potongan ataupun sambungan. Yala memiliki sumber daya alam marmer yang cukup besar. Jika di Indonesia seperti halnya di Tulungagung – Jawa Timur. Sehingga tak heran jika bangunan dan kursi untuk berwudhu terbuat dari marmer.

Dari Yala, kami menuju Pattani – salah satu dari tiga provinsi yang terkena status daerah operasi militer (DOM) kerajaan Thailand. Perjalanan melalui jalan tol. Di pinggiran jalan tol mobil yang kami tumpangi belok kiri menuju jalan yang lebih sempit. Di depan jalan masuk terdapat tumpukan pasir tentara. Rupanya, masjid Krue Se, yang menjadi tempat bersejarah ini berada di sisi jalan tol. Kami berpikir mungkin ini salah satu cara kerajaan Thailand menghilangkan situs Islam di wilayahnya.

Pada, 28 April 2004, 106 pemuda dan remaja Muslim tewas dibantai aparat militer dan polisi di Masjid Krue Se, Pattani.

Dalam peristiwa yang mirip “amok” tersebut, sebanyak 34 remaja dan pemuda yang berlindung di Masjid Krue Se, Pattani, ikut terbunuh. Masjid tua peninggalan abad ke-17 ini hancur karena aparat keamanan menembakinya sejak pukul 05.00 hingga 14.10.

Bekas dari penembakan dan penyerangan di masjd ini pun tampak. Dinding yang ada di masjid ini dibiarkan tidak diplester. Bahkan, bangunan seluas 100 meter persegi ini tidak direnovasi bagian luarnya. Hanya bagian dalamnya yang direnovasi.

Diserang lagi

28 April, 2007, sekurang-kurangnya 20 jemaah yang sedang menunaikan sholat subuh di Masjid Krue Se berhamburan menyelamatkan diri selepas sekumpulan penyerang melepaskan tembakan terhadap mereka awal pagi semalam sebagai menandakan ulang tahun tragedi serangan masjid berkenaan yang mengorbankan lebih 100 terbunuh, tiga tahun lalu.

Di Masjid Krue Se, kami bertemu dengan lelaki tua yang disebut turunan ke enam raja Pattani. Di sana, kami diajak untuk berdoa untuk keselamatan umat Islam, dunia dan akhirat. Baik yang telah syuhada maupun yang masih hidup. ”Semoga kerajaan Siam hancur.” Begitu salah satu doanya.

Saya termenung di mesjid yang compang-camping itu. Entah apa motivasi para pemuda yang dengan fanatisme menyerang pos polisi dengan senjata sederhana, jelas peristiwa tragis itu menunjukkan suatu kegagalan kebijakan.

Suatu kejadian yang menunjukkan bahwa di bawah permukaan, berbagai kekuatan sosial beredar dan saling tabrakan. (***)

Makan Malam dengan Cucu Pendiri Muhammadiyah

Rencana kunjungan kami ke Singapura, Malaysia dan Thailand adalah mengikat tali silaturahim yang selama ini agak renggang karena situasi politik di negara masing-masing, terutama Thailand Selatan yang ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Pemerintah Thailand. 

Dari Pulau Penang, kami mengunjugi Universitas Sains Malaysia (USM) di Pulau Penang. Komitmen pemerintah Malaysia terhadap pendidikan bukan hanya isapan jempol. Pulau Penang yang dicanangkan sebagai tempat pelabuhan bebas dan terbesar di Asia Tenggara memiliki Universitas yang ditujukan untuk bersaing di dunia internasional. Fasilitas dan luas tanah yang disediakan memang memadai. Namun sayang, kami tidak dapat melihat aktivitas perkulihan karena memang sedang libur puasa Ramadhan.
Dari USM ini kami naik mobil van (semacam carry, red) menuju Thailand Selatan. Perjalanan juga tidak mengalami kendala karena fasilitas jalan tol yang baik.
Sesampai di perbatasan terdapat hal yang membedakan antara di Singapura, Malaysia dan Thailand.
Pemeriksaan di perbatasan Thailand tidak seketat dibandingkan dengan Malaysia maupun Singapura. Demikian dengan ketertibannya. Jika di perbatasan Malaysia, penumpang harus turun dan melalui pos imigrasi, maka tidak ada celah bagi penumpang untuk kembali ke kendaraan tanpa melalui pemeriksaan.
Tidak demikian jika di perbatasan Thailand Selatan. Penumpang dapat tidak melalui pemeriksaan jika mau, karena mobil yang ditumpangi masih berada di belakang pos pemeriksaan. Dan setelah itu, mobil yang lewat tidak melalui pengecekan, demikian juga dengan barang yang ada di dalamnya.
Saat di perbatasan, setiap orang dimintai uang RM 1 (satu ringgit Malaysia) sebelum akhirnya dapat masuk ke wilayah Thailand Selatan.
Mobil yang kami naiki berhenti di Hat Yai (baca Ha Jai, red). Di terminal, kami dijemput Ustad Nasir – Ketua Young Acociation Mosleem Thailand (YMAT).
Kami kenal dengan Nasir saat ada acara peresmian Universitas Yala di wilayah Thailand Selatan sekitar tujuh tahun yang lalu.
Penjemputan ini sengaja dilakukan mengingat kami akan berkunjung di wilayah Thailand Selatan yang berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Sebelum ke Yala sekitar 100 km dari Hat Yai, kami mengunjungi pantai di Provinsi Shong Kla. Thailand memiliki 73 Provinsi. Masing-masing Provinsi mungkin hanya berpenduduk 800.000 jiwa seperti hanya di Batam. Bandingkan dengan luas dan jumlah penduduk Indonesia yang hanya memiliki 33 Provinsi.
Menjelang waktu Ashar (tidak ada perbedaan waktu antara Thailand dengan Indonesia, red) kami menuju Yala. Sepanjang perjalanan, Nasir melakukan pembicaraan melalui HP. Semula kami tidak mengetahui apa isi pembicaraan. Maklum, mereka menggunakan bahasa Siam atau Thai. Sedangkan pembicaraan yang kami lakukan dengan Nasir menggunakan bahasa Melayu.
Wilayah Thailand Selatan, yang mayoritas Muslim bisa mengggunakan bahasa Melayu meskipun tidak semuanya bisa.
Sesampai di Hotel, kami dipersilahkan untuk mandi dan berganti pakaian guna buka puasa bersama.
Sesampai di restourant yang telah dipesan sebelumnya, banyak tamu undangan yang hadir. Rata-rata mereka adalah aktivis Islam yang dinamakan ahli sunnah. Jika di Indonesia Muhammadiyah.
Satu per satu kami dikenalkan dengan undangan yang hadir, mulai dari dokter hingga guru sekolah di sana. Ada satu undangan yang ”spesial” hadir di sana. Namanya- Phaisal Dahlan – cucu KH Ahmad Dahlan pendiri Pergerakan Muhammadiyah di Indonesia. Phaisal Dahlan ternyata tidak bisa menggunakan bahasa Melayu. Ia hanya menguasai bahasa Siam dan Inggris. Maka, perbincangan sambil makan malam pun terjadi.
Yang menjadi pertanyaan di hati pertama kali adalah bagaimana keturunan KH Ahmad Dahlan dapat bermukim di Thailand.
Phaisal Dahlan adalah anak dari Irfan Dahlan. Sepulang dari belajar di Lahore – India, Irfan tidak dapat masuk ke Indonesia karena situasi politik yang tidak memungkinkan karena adanya perang dunia ke dua. Maka Irfan memutuskan untuk tinggal di Thailand dan membangun keluarga di sana yang dikarunia sepuluh anak. Dan rata-rata anak Irfan memiliki kontribusi yang positif bukan hanya di Thailand melainkan juga bagi dunia Islam. (***)

Rencanakan Asuh Anak Myanmar yang Tertindas

Rencana kunjungan kami ke Singapura, Malaysia dan Thailand adalah mengikat tali silaturahim yang selama ini agak renggang karena situasi politik di negara masing-masing, terutama Thailand Selatan yang ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Pemerintah Thailand.

Ternyata dengan menggunakan alternatif naik bus lewat Larkin – Johor – Malaysia biaya yang dikeluarkan lebih murah jika dibandingkan melalui Singapura. Seperti pada tulisan pertama jika melalui Singapura biaya yang dikeluarkan mencapai $S 250 atau sekitar Rp. 1550.000 untuk lima orang. Sedangkan jika melalui Johor Bahru biaya yang dikeluarkan hanya separuhnya yakni RM250 atau sekitar Rp625.000 untuk kami berlima atau Rp125.000 per orang.
Perjalanan yang ditempuh cukup jauh yakni memakan waktu sekitar 8 jam. Dengan perincian empat jam perjalanan ke Kuala Lumpur (KL) dan empat jam ke Kedah.
Dalam perjalanan tidak mengalami kendala berarti. Dengan infrastruktur jalan yang baik, maka perjalanan dapat dilalui dengan jalan tol dari Johor hingga Kedah. Bahkan, tol ini pun tak terputus hingga ke perbatasan Thailand Selatan.
Sampai di Kedah, kami dijemput langsung dengan Ustad Abdul Wahab – Tokoh Muhammadiyah di Penang serta Ustad Halim – Mahasiswa Doktoral di Universitas Sains Malaysia (USM). Ustad Halim merupakan orang Thailand yang dicurigai oleh Pemerintah Thailand sebagai teroris. Sehingga ia tidak dapat masuk ke Thailand. Untuk itu, alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini melanjutkan program doktoralnya di USM.
Perbincangan sambil menikmati santap malam dilakukan bersama. Perbincangan tentunya menceritakan tentang kondisi umat Islam di masing-masing negara. Selain itu, aktivitas yang dilakukannya.
Ustad Wahab yang kini tidak aktif di Muhammadiyah – Penang menceritakan tentang kegiatannya melakukan dakwah pada suku asli Malaysia – Sakai. ”Banyak dari kita yang hanya bisa berdakwah di ”sawah” orang lain yang jelas sudah kelihatan hasilnya,” tutur Ustad Wahab. Maksud dari Ustad Wahab adalah kita seharusnya keluar berdakwah di lingkungan yang belum tersentuh Islam. Bahkan, Ustad Wahab juga berencana untuk melakukan dakwah di perbatasan Myanmar di Thailand Utara yakni Chiang Rai.
Seperti diketahui kondisi di Myanmar kurang begitu menguntungkan untuk saat ini. Para pemeluk Agama Bhuda saja merasa tertekan apalagi umat Islam di sana. ”Jadi siapa yang akan menolong saudara kita ? Bukankah yang wajib menolong adalah tetangganya. Sedangkan kita merupakan negara tetangga terdekatnya ,” ujarnya.
Berkenaan dengan ini, kita telah menawarkan anak-anak Myanmar yang kurang beruntung tersebut dapat ditampung di Batam. Dengan demikian program Muhammadiyah ASEAN yang kini berubah menjadi Muhammadiyah Internasional dapat terlaksana dengan baik.Pusat Dakwah
Muhammadiyah ASEAN yang sign board-nya ada di SMA Muhammadiyah Batu Aji merupakan program dakwah yang dilakukan antar lintas negara. Mengapa dipilih di Batam, karena Batam memiliki tanah yang cukup luas dan situasi yang cukup kondusif jika dibandingkan dengan Malaysia apalagi di Thailand.
Namun, peran ini belum dilakukan secara optimal mengingat keterbatasan masing-masing pengurus. Dengan adanya anak asuh terutama dari Myanmar maka diharapkan Muhammadiyah ASEAN atau Internasional dapat hidup dengan baik.
Di Malaysia, Muhammadiyah tidak dapat berkembang dengan bebas karena kebijakan dari pemerintah. Apalagi di Thailand. Namun akhir-akhir ini ada perkembangan baik terutama dengan telah dibentuknya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di Kuala Lumpur. Keadaan ini tidak diikuti di Thailand. Khusus di Thailand Selatan yakni di tiga provinsi, Yala- Pattani dan Narathiwat kondisinya masih berlaku Daerah Operasi Militer (DOM). (***)

Buka Pasar Produk Halal dalam Kerja Sama IMT-GT

Untuk mengembangkan produk halal bukan hanya pada sertifikasi saja. Melainkan perlu adanya pembukaan pasar khususnya produk halal di negara berkembang dan maju. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan kerja sama dengan negara yang berkomitmen dan memiliki pusat kajian tentang makanan halal.

Setelah memiliki alat dan melakukan pengkajian tentang makanan halal, beberapa langkah dilakukan guna makanan yang telah dikaji dan mendapatkan sertifikasi halal dapat diterima oleh pasar. Maka, perlu dilakukan kerja sama dan sosialisasi dengan lembaga sejenis di berbagai negara yang akhirnya tergabung dalam Indonesia – Malaysia – Thailand Growth Triangle (IMT – GT).
IMT – GT pertama kali digagas pada tahun 1993. Pada mulanya tidak ada aktivitas yang berkaitan dengan halal ataupun kegiatan sejenis lainnya. Ini dilakukan hingga tahun 2001. Dari pertemuan para menteri yang diadakan di Songkhla, Thailand Selatan disepakati pembagian tugas anggota IMT – GT. Malaysia sebagai negara yang mengembangkan infrastruktur dan perdagangan, Thailand bertugas membuka pasar dan membangun jaringan sektoral sedangkan Indonesia mengembangkan jaringan antar sektor dan pembukaan pasar di daerah terpencil.
Pada pertemuan pertama tahun 2002 disepakati beberapa pokok pengembangan di antaranya pengembangan jaringan produk halal, pengembangan stock produk, pengembangan produk kayu dan minyak, ikan laut, produk hortikultura dan pengembangan kehutanan.
Tahun 2007 di Cebu – Philipina masing-masing negara sepakat untuk mengembangkan kerja sama terutama dalam bidang produk halal. Dan dalam pertemuan tersebut disepakati Thailand National Economic and Social Development Board (NESDB) sebagai sekretariat yang tentunya berada pada the Halal Science Center (HASCI), Chulalungkorn University.
The Halal Science Center (HASCI), seperti pada tulisan sebelumnya merupakan pusat pengkajian halal yang berada Chulalungkorn University – Thailand. Dengan berbagai alat yang dimiliki, pusat kajian yang dipimpin Wina Dahlan – cucu pendiri Muhammadiyah ini bukan hanya sebagai pusat kajian, melainkan juga telah melakukan berbagai kerja sama dengan lembaga-lembaga guna mengembangkan produk halal di pasar.
Beberapa negara telah dilakukan kerja sama, diantaranya Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Inggris. Sedangkan untuk di dalam negeri, The Halal Science Center (HASCI) telah mengadakan kerja sama dengan menandatangai Memorandum of Understanding (MoU) dengan bandar udara Suvarnabhumi.
Bahkan, setelah mengetahui kami dari Batam – Indonesia, Winai Dahlan tertarik untuk mampir dan melihat Batam. ’’Saya pernah ke Medan dan saya akan lewat dari Batam setelah mengetahui ini,’’ ujarnya dalam bahasa Inggris. (***)

Ke Bangkok pun Harus Beli Tiket Return

Rencana kunjungan kami ke Singapura, Malaysia dan Thailand adalah mengikat tali silaturahim yang selama ini agak renggang karena situasi politik di negara masing-masing, terutama Thailand Selatan yang ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Pemerintah Thailand.

Perjalanan dimulai dari Singapura. Negeri pulau ini tak asing bagi kami di Batam untuk dikunjungi. Terutama dengan pejabat dan pengurus Muhammadiyah yang memang kami aktif di dalamnya.
Berkaitan dengan itu, tujuan kami adalah menjalin tali silaturahim dan kerja sama yang selama ini agak renggang karena kurangnya kegiatan yang dilaksanakan dalam tingkat regional. Terutama untuk kawasan Asia Tenggara.
Jadwal yang ada di benak kami adalah menempuh perjalanan langsung ke Bangkok. Kebetulan kerabat yang kami akan kunjungi sedang ada acara di sana. Jadi setelah itu baru menuju ke Thailand Selatan dan Penang lalu kembali ke Singapura.
Namun, pada tanggal 28 September 2007 malam yakni pukul 08.00 malam waktu Singapura saat kami mengejar jadwal pesawat kami telah terlambat. Usaha akhirnya tidak berhenti sampai di situ. Dengan informasi abang angkat yang ada di Batam yakkni Muhammad Nur, kami menuju ke tempat pemberangkatan bus. Tujuannya, ke Penang atau ke Hatyai – Thailand Selatan.
Setelah berkeliling di beberapa konter bus, bangku kosong pun tak juga dapat untuk kami berlima. Bahkan, saat ada yang kosong dengan harga mencapai $S 250 atau sekitar Rp. 1550.000 untuk kami berlima kami langsung menyepakatinya. Tapi apa dikata dengan harga yang cukup tinggi pun kami belum dapat tiket dengan tujuan Penang – Malaysia.
Jadi kami bermalam di kantor Pusat Muhammadiyah Singapura guna menunggu pukul 03.00 pagi sampai konter pesawat Tiger Airways dengan tujuan Bangkok dibuka. Setelah menunggu sampai 4.30 pagi waktu setempat informasi yang kami dapat lagil-lagi mengecewakan. Tiket mencapai $S 220 per orang menuju Bangkok atau untuk kami berlima mencapai Rp6 juta lebih itu pun harus beli return karena peraturan imigrasi katanya. Padahal informasi yang telah ada di konter Air Asia harga tiket hanya $S 124 per orang. Jadi kami berpikir kok susah jadi orang Indonesia ini. Padahal kami hanya bersilaturahim dengan kerabat. Dan jalan yang dilalui pun tidak harus return ke Singapura namun melewati Thailand Selatan dan Penang – Malaysia.
Tapi berbagai cara ditempuh. Setelah sahur di Geylang, kami pun diantar kerabat yang kebetulan berprofresi sebagai supir taksi menju Rocho Road naik bus menuju terminal Larkin Johor guna menuju Penang Malaysia. (bersambung)

Menganalisa DNA Babi dalam Makanan

Tak diduga, Thailand yang berpenduduk hampir 90 persen beragama Budha memiliki pusat pengkajian makanan halal yang diklaim majalah Malaysia adalah satu-satunya di dunia. Bagaimana pusat pengkajian tersebut? Berikut tulisan wartawan Buletin Jumat Aries Kurniawan yang berkunjung di sana

Rencana untuk mengunjungi pusat pengkajian makanan halal di Bangkok – Thailand tidak terdapat sejak berangkat dari Batam – Indonesia. Kami berlima yang memang aktif di Yayasan Lembaga Konsumen Muslim Batam (YLKMB) hanya bersilaturahim dengan kerabat dan kawan yang ada di Thailand Selatan yang kondisinya tidak menguntungkan saat ini. Yakni terkena Daerah Operasi Militer (DOM) seperti halnya di Aceh.
Namun, dari acara silaturahim ini kami berjumpa dengan Phaisal Dahlan di Provinsi Yala Thailand Selatan. Phaisal Dahlan adalah cucu KH Ahmad Dahlan, tokoh pendiri pergerakan Muhammadiyah di Indonesia. Phaisal merekomendasikan kepada kami untuk berjumpa dengan abangya, Winai Dahlan – Direktur The Halal Science Center, Chulalongkorn University Bangkok. Perjanjian lewat telepon pun dibuat. Bahkan, kami pun dibantu membuat janji bertemu oleh Dekan Universitas Islam Yala Ustadz Soleh saat berjumpa di Bangkok.
Pertemuan pun akhirnya terjadi pada Selasa (2/10/07) siang jam 12.00. Kami pun disambut hangat oleh Winai Dahlan secara langsung. Maksud kedatangan pun disampaikan, Winai yang juga Dekan Fakultas Kesehatan ini pun menyambut baik kedatangan kami dan membawa secara langsung untuk meninjau pusat kajian halal yang dipimpinnya.
Sebelum masuk di ruangan Winai kami pun telah melewati gedung pusat pengkajian ini ini. Namun, gedung yang tidak sebeberapa besar yakni sekira 20×30 meter ini menyimpan peralatan yang modern dan cangih untuk mengidentifikasi status makanan apakah halal atau tidak.
Winai yang didampingi para staf pun menjelaskan secara singkat latar belakang berdirinya pusat kajian halal ini.”Saya berpikir apa yang bisa saya buat untuk dunia Islam dengan ilmu yang dianugrahkan kepada saya,” ujar putra Irfan Dahlan ini.
Tak disangka dengan berpikiran sederhana ini, pusat kajian yang berdiri sejak 1995 ini menjadi pusat kajian pertama di dunia.
Pusat kajian halal ini menyediakan servis untuk menganalisa tentang halal dan najis dengan menggunakan instrumen ilmiah. Beberapa alat-alat dengan teknologi canggih pun tersedia di sini untuk mendukung proses analisis.
Untuk menguji apakah makanan mengandung alkohol maka digunakan alat Gas-Liquid Chromatography (GLC). ”Alat ini mampu menganalisa kandungan kimia yang kompleks dalam makanan selain kandungan alkohol,” ujar salah satu staf The Halal Science Center, Chulalongkorn University Bangkok.
Selanjutnya juga terdapat alat Gas Chrmatography Coupled with Mass Spectometry (GC-MS) yang mampu mengetahui kandungan organik yang terdapat dalam makanan. Selain itu, alat ini mampu mengidentifikasi kandungan lemak yang ada dalam makanan.
Masing-masing alat yang diperlihatkan kepada kami berukuran kecil. Namun ternyata alat yang kesemuanya menggunakan teknologi komputer ini memiliki kemampuan yang lebih untuk menganalisa kandungan yang terdapat dalam makanan.
Alat yang serupa juga dapat menganalisa molekul organik dalam makanan yang tidak dapat dianalisa oleh GC analisis. Satu lagi, alat ini dinamakan Liquid Chromatography yang mampu menganalisa kandungan peptin, sakarin atau pemanis buatan yang terdapat dalam makanan.
Bukan hanya kandungan yang ada dalam makanan. Untuk menganalisa kandungan merkuri yang terdapat dalam kosmetik atau sabun pun tersedia di sini. Namanya, Inductively Coupled Plasma Spetrometry.
Nah ini, salah satu alat yang termahal ada di ruangan yang berukuran 2×2 meter. Harganya mencapai 500.000 dolar US (lima ratus ribu dolar AS) atau sekitar Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah). Alat yang dinamakan Real Time Polymerase Chain Reaction ini mampu menganalisa DNA binatang dalam produk makanan apa itu berasal dari babi, sapi maupun bebek.
Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) merupakan alat yang cocok untuk menganalisa produk terutama yang mengandung minyak seperti minyak babi . Alat yang menggunakan teknik infra merah ini merupakan cara yang murah dan cepat untuk mengidentifikasi material organic.
Dengan berbagai alat dan kesungguhan untuk melaksanakan kajian tentang halal maka The Halal Science Center, Chulalongkorn University Bangkok telah mengkaji lebih dari sepuluh ribu produk yang direkomendasikan untuk dimintakan fatwa Majelis Ulama setempat. Selain itu, kerja sama dengan lembaga sejenis dan perusahaan telah dilakukan untuk memajukan pangsa pasar makanan halal di dunia. (***)

Muhammadiyah Internasional, Langkah Strategis Selesaikan Situasi Politik di Thailand Selatan

I. PENDAHULUAN

Letak Thailand selatan sangat strategis dari sisi geopolitik. Berbatasan dengan Malaysia dan di mulut Selat Malaka. Dari perairan Thailand selatan dapat dimonitor kapal-kapal yang berlayar dari Laut China Selatan menuju Selat Malaka.
Di wilayah perbatasan Thailand selatan sendiri tercatat pernah tiga kali terjadi pemberontakan bersenjata, yakni Partai Komunis Malaya, Partai Komunis Thailand, dan beragam faksi perlawanan Pattani. Setelah sempat padam tahun 1990-an, aktivitas perlawanan Pattani mulai muncul kembali awal tahun 2000.
Apa yang terjadi di Thailand selatan jelas tidak lepas dari pergolakan di Indochina sejak pertengahan tahun 1950 hingga 1980-an. Termasuk perang Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sedangkan Myanmar hingga sekarang masih terus bergolak.
Mayoritas warga di lima provinsi-Pattani, Yala, Narathiwat, Setun, dan Songkhla-adalah warga Muslim keturunan Melayu. Jumlahnya sekitar 80 persen dari sekitar 6 juta penduduk Muslim di Thailand. Penduduk Negeri Gajah Putih ini berkisar 63 juta jiwa.
Jika Phuket dimasukkan sebagai wilayah selatan dalam peta politik nasional Thailand, maka posisi “daerah tidak bertuan” ini sesungguhnya sangat kuat. Sebab sedikitnya dua PM Thailand berasal dari selatan, yakni Prem Tinsulanond dan Chuan Leekpai.
Berbeda dari karakter kerusuhan masyarakat yang dikesankan di Thailand selatan, pada masa kekuasannya PM Prem Tinsulanond dikenal dan dihormati sebagai pribadi yang bersih dan jujur. PM Chuan Leekpai juga mengikuti tradisi ini.
Akan tetapi, selain rusuh, budaya Thailand selatan juga meletakkan nilai keberanian, kejantanan, dan bersikap terus terang dalam kehidupan sehari-hari. Nilai budaya demikian tampak dalam kepemimpinan kedua perdana menteri.
Sejak Chuan Leekpai memegang kendali kepemimpinan Partai Demokrat tahun 1992, wilayah selatan menjadi basis utama partai tersebut. Hegemoninya makin kuat dalam setiap pemilu parlemen. Contohnya, dalam pemilu parlemen tahun 1988 hanya 16 dari 43 kursi yang direbut Partai Demokrat. Namun, dalam pemilu September 1992 melonjak menjadi 36 dari 45 kursi, dan tahun 1996 meraih 47 dari 52 kursi.
Keadaan ini menimbulkan pertanyaan bagi Prof Duncan McCargo, “Southern Thai Politics, A Preliminary Overview” (Polis Working Paper No 3, Februari 2004), bagaimana dan kapan penduduk selatan beralih dari perampokan dan saling memangsa menjadi saling dukung dalam politik? Prof Duncan tidak menjawabnya, kecuali menyarankan dibutuhkan penelitian untuk itu.
Tidak mudah memang mengurai fakta-fakta tersebut. Di satu pihak rakyat di wilayah selatan tidak pernah merasa bagian dari Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut berkompetisi dalam politik nasional.
Seperti halnya juga rakyat Thailand selatan selalu merasa diabaikan pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam aktivitas pembangunan, tetapi saat pemimpin nasional Thailand berasal dari wilayah selatan, hal ini tidak segera dibenahi. Thailand selatan tetap seperti beberapa dekade silam. Kalaupun ada industri di lima provinsi yang penduduknya mayoritas Islam, hal itu terbatas hanya pengalengan ikan skala menengah.
Dalam hal ini, persoalannya bukanlah siapa yang berkuasa di Thailand. Sebab terbukti persepsi pada Thailand selatan sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah kendati di masa pemerintahan PM Prem maupun Chuan. Padahal, persepsi inilah yang menyebabkan daerah selatan makin tidak terurus dan mirip daerah tidak bertuan.
Situasi demikian menyebabkan rakyat teralienasi dan tidak merasa bagian dari Thailand. Lantas mereka berusaha menghindar dari pejabat maupun birokrasi pemerintah, sementara pejabat mencurigai mereka sebagai kaum separatis maupun militan.
Sementara itu, Ustadz Abdul Rahman Abdul Samaad, Ketua Majelis Islam Provinsi Narathiwat, menyebut tuduhan kelompok militan Islam itu sengaja ditiup-tiupkan pemerintahan PM Thaksin untuk menutup-nutupi kebrutalan aparat keamanan.
Akan tetapi, apa pun penjelasan, dalam tahun ini saja sudah lebih dari 550 orang terbunuh. Celakanya, tak satu pelaku pun dapat dibekuk. Padahal, ribuan aparat keamanan ditempatkan di Provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat, yang berstatus darurat militer.

II. PERMASALAHAN

Hingga saat ini belum dijumpai adanya gerakan separatis yang nyata seperti halnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bahkan, GAM telah memiliki perwakilannya di luar negeri dan memiliki pasukan yang jelas melawan pemerintah. Dengan demikian langkah apa yang harus diambil oleh pemerintah Thailand unntuk mengatasi permasalahan yang terjadi di wilayah Thailand Selatan?

III. PEMBAHASAN

Sebenarnya permasalaham di Thailand Selatan tidak serumit seperti halnya di Aceh, meskipun latar belakang terjadinya pergolakan adalah sama yakni mersa kurang diperhatikan pemerintah dalam pembangunan.
Kunci yang terpenting dalam menyelesaikan hal ini adalah dialog. Dan ini perlu dimediasi oleh pihak ketiga yang dinilai netral. Penulis yang melakukan perjalanan ke dua provinsi yang genting mengambil kesimpulan perlu adanya dialog antara pemerintah dan masyarakat setempat.
Penulis juga sempat melakukan dialog dengan tokoh muslim Thailand yang tinggal di Yala – Thailand Selatan, diantara Ketua Youth Muslim Asociation Thailand (YMAT) Nik Nasir dan Penasehat YMAT Phaisal Dahlan yang juga cucu pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Hasil dari dialog singkat dan pengamatan situasi, muslim di sana welcome untuk penyelesaian sengketa di Thailand Selatan. Dan penulis juga tidak menjumpai organisasi-organisasi yang dituduhkan oleh Pemerintah Thailand. Hal ini berbeda dengan organisasi GAM yang jaringannya hingga sampai luar negeri.
’’Yang terpenting jangan ada pikiran yang negatif terhadap kami warga muslim yang tinggal di Thailand Selatan,’’ ujar Phaisal Dahlan dalam bahasa Inggris.
Bahkan, Phaisal memberi memberi contoh positif penyelesaian sengketa yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan di Aceh.
’’Dengan kondisi ini saya memprediksikan, Indonesia merupakan negara yang akan bergerak maju mengikuti China dan India di wilayah Asia. Hal ini juga disebabkan potensi penduduk Indonesia yang besar setelah kedua negara tersebut,’’ ujarnya.
Pembahasan dengan pemerintah di Thailand Selatan telah dilakukan. Bahkan pertemuan yang dimediasi oleh Malaysia dan diselenggarakan di Kuala Lumpur menghasilkan tujuh permintaan. Namun, sayang putra mahkota kerajaan Thailand kurang berkenan untuk memenuhi permintaan ini.

Peran Muhammadiyah

Muhammadiyah dapat berperan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Peran ini dapat diambil mengingat sejarah masuknya Islam di Thailand yang dinamakan sunnah yang sama dengan Muhammadiyah berkembang dengan pesat.
Buktinya, anak KH Ahmad Dahlan yakni Irfan Dahlan memilih bermukim di Thailand karena situasi politik yang belum memungkinkan untuk masuk ke Indonesia setelah belajar dari Lahore, India. Namun, perkembangan Muhammadiyah tidak sebagus di Singapura yang memiliki beberapa amal usaha seperti dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Oleh karena itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan Muhammadiyah mendorong Pemerintah Thailand agar bisa menyelesaikan konflik di Thailand Selatan dengan cara soft power. Muhammadiyah siap membantu ikut menyelesaikan konflik, namun bukan sebagai mediator atau juru runding, melainkan melalui pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.
“Dari serangkaian pertemuan saya minggu lalu dengan pemerintah dan Raja Thailand, meski tidak eksplisit, mereka meminta atau paling tidak menyetujui kalau Muhammadiyah terlibat penyelesaian konflik. Bukan sebagai mediator atau juru runding damai, namun sebagai faktor pendorong tampilnya Islam yang maju, moderat dan modern, misal lewat pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi mikro,” ungkap Din Syamsuddin, Senin (6/8) di sela-sela kunjungan para pengelola madarasah dan pejabat pendidikan Thailand Selatan di kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Din mengemukakan, dan kunjungan selama tiga hari 25-27 Juli, telah bertemu langsung dengan Raja Bhumibol Adulyadej, PM Thailand Surayud Chulanont, dan pemimpin militer Thailand Jenderal Sonthi Boonyaratglin. Dalam pertemuan itu, pihaknya meminta agar Thailand tidak lagi melakukan pendekatan hard power melalui kekuatan milter, namun lebih memilih pendekatan soft power yaitu melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan. “Pendidikan di selatan relatif terbelakang. Pendidikan Islam tidak maju, sangat sempit dan konservatif,” katanya.
Perubahan paradigma kini mulai ditunjukan pemerintah Thailand, meskipun tidak secara drastis. “Kesan saya ada permintaan mereka, atau setidaknya ada persetujuan mereka, supaya ada keterlibatan ormas Islam seperti Muhammadiyah dalam ikut menyelesaikan konflik di Selatan, namun permintaan itu tidak eksplisit. Kami sampaikan Muhmmadiyah siap membantu,” katanya.
Karena itu, pihaknya ingin membantu memberdayakan masyarakat melalui pendidikan Islam yang berkemajuan dan pemberdayaan ekonomi mikro. “Saya tadi sudah telpon dubes Thailand untuk kerjasama yang lebih konkrit. Muhammadiyah punya pengalaman mengelola pendidikan, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan sosial. Kita bisa mengirim guru mubaliq, atau tenaga yang mendorong pemberdayan ekonomi. Atau mereka bisa belajar singkat di sini,” katanya.
Dari pesan yang disampaikan oleh Din Syamsudin tersebut maka sepatutnya Muhammadiyah terutama Wilayah maupun Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang terletak dekat dengan wilayah Thailand Selatan dapat mengaplikasikan pemikiran dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Penulis yang kebetulan aktif di organisasi Muhammadiyah dan berdomisili di Batam ini menilai langkah yang diutarakan oleh Din Syamsudin ini dapat dilaksanakan. Apalagi dengan dukungan dari Muhammadiyah di Penang Malaysia dan PCIM Kuala Lumpur yang kebetulan berdekatan dengan Thailand Selatan. Dan ini semua dapat disatukan dengan mengikut sertakan Muhammadiyah Singapura dengan nama Muhammadiyah Internasional, perluasan dari Muhammadiyah ASEAN yang sekretariatnya berada di Batam.
’’Sudah saatnya Muhammadiyah ’’keluar’’ dalam melakukan dakwah. Terutama di luar’’sawah’’ yang jelas dipanennya,’’ ujar tokoh Muhammadiyah Penang Ustadz Wahab yang aktif berdakwah untuk suku asli Malaysia, Sakai.

IV. KESIMPULAN

Penyelsaian konflik di wilayah Thailand Selatan tidak cukup dengan adanya dialog. Tapi perlu adanya pembangunan masyarakat dengan yang disebut soft power. Memang, muslim di Thailand Selatan agak ’’terbelakang’’ dalam bidang kemaslahatan umat.
Meskipun sekolah baru berdiri besar terutama di Universtas Yala, namun di bidang lainnnya seperti ekonomi dan kesehatan belum berkembang dengan baik. Untuk itu perlu adanya peningkatan di bidang-bidang lainnya. Sehingga masyakat di sana semakin maju pola pikir dan secara otomatis akan membawa kemajuan dalam pembangunan di wilayah Thailand Selatan. Dengan sendirinya permasalahan kecemburan dalam pembangunan dapat diatasi.

V. PUSTAKA

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/20/sorotan/1445598.htm,Thailand Selatan dalam Geostrategi
http://www.kompas.com/ver1/Nasional/0708/06/195544.htm,Muhammadiyah Siap Bantu Masyarakat Thailand Selatan