I. PENDAHULUAN
Letak Thailand selatan sangat strategis dari sisi geopolitik. Berbatasan dengan Malaysia dan di mulut Selat Malaka. Dari perairan Thailand selatan dapat dimonitor kapal-kapal yang berlayar dari Laut China Selatan menuju Selat Malaka.
Di wilayah perbatasan Thailand selatan sendiri tercatat pernah tiga kali terjadi pemberontakan bersenjata, yakni Partai Komunis Malaya, Partai Komunis Thailand, dan beragam faksi perlawanan Pattani. Setelah sempat padam tahun 1990-an, aktivitas perlawanan Pattani mulai muncul kembali awal tahun 2000.
Apa yang terjadi di Thailand selatan jelas tidak lepas dari pergolakan di Indochina sejak pertengahan tahun 1950 hingga 1980-an. Termasuk perang Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sedangkan Myanmar hingga sekarang masih terus bergolak.
Mayoritas warga di lima provinsi-Pattani, Yala, Narathiwat, Setun, dan Songkhla-adalah warga Muslim keturunan Melayu. Jumlahnya sekitar 80 persen dari sekitar 6 juta penduduk Muslim di Thailand. Penduduk Negeri Gajah Putih ini berkisar 63 juta jiwa.
Jika Phuket dimasukkan sebagai wilayah selatan dalam peta politik nasional Thailand, maka posisi “daerah tidak bertuan” ini sesungguhnya sangat kuat. Sebab sedikitnya dua PM Thailand berasal dari selatan, yakni Prem Tinsulanond dan Chuan Leekpai.
Berbeda dari karakter kerusuhan masyarakat yang dikesankan di Thailand selatan, pada masa kekuasannya PM Prem Tinsulanond dikenal dan dihormati sebagai pribadi yang bersih dan jujur. PM Chuan Leekpai juga mengikuti tradisi ini.
Akan tetapi, selain rusuh, budaya Thailand selatan juga meletakkan nilai keberanian, kejantanan, dan bersikap terus terang dalam kehidupan sehari-hari. Nilai budaya demikian tampak dalam kepemimpinan kedua perdana menteri.
Sejak Chuan Leekpai memegang kendali kepemimpinan Partai Demokrat tahun 1992, wilayah selatan menjadi basis utama partai tersebut. Hegemoninya makin kuat dalam setiap pemilu parlemen. Contohnya, dalam pemilu parlemen tahun 1988 hanya 16 dari 43 kursi yang direbut Partai Demokrat. Namun, dalam pemilu September 1992 melonjak menjadi 36 dari 45 kursi, dan tahun 1996 meraih 47 dari 52 kursi.
Keadaan ini menimbulkan pertanyaan bagi Prof Duncan McCargo, “Southern Thai Politics, A Preliminary Overview” (Polis Working Paper No 3, Februari 2004), bagaimana dan kapan penduduk selatan beralih dari perampokan dan saling memangsa menjadi saling dukung dalam politik? Prof Duncan tidak menjawabnya, kecuali menyarankan dibutuhkan penelitian untuk itu.
Tidak mudah memang mengurai fakta-fakta tersebut. Di satu pihak rakyat di wilayah selatan tidak pernah merasa bagian dari Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut berkompetisi dalam politik nasional.
Seperti halnya juga rakyat Thailand selatan selalu merasa diabaikan pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam aktivitas pembangunan, tetapi saat pemimpin nasional Thailand berasal dari wilayah selatan, hal ini tidak segera dibenahi. Thailand selatan tetap seperti beberapa dekade silam. Kalaupun ada industri di lima provinsi yang penduduknya mayoritas Islam, hal itu terbatas hanya pengalengan ikan skala menengah.
Dalam hal ini, persoalannya bukanlah siapa yang berkuasa di Thailand. Sebab terbukti persepsi pada Thailand selatan sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah kendati di masa pemerintahan PM Prem maupun Chuan. Padahal, persepsi inilah yang menyebabkan daerah selatan makin tidak terurus dan mirip daerah tidak bertuan.
Situasi demikian menyebabkan rakyat teralienasi dan tidak merasa bagian dari Thailand. Lantas mereka berusaha menghindar dari pejabat maupun birokrasi pemerintah, sementara pejabat mencurigai mereka sebagai kaum separatis maupun militan.
Sementara itu, Ustadz Abdul Rahman Abdul Samaad, Ketua Majelis Islam Provinsi Narathiwat, menyebut tuduhan kelompok militan Islam itu sengaja ditiup-tiupkan pemerintahan PM Thaksin untuk menutup-nutupi kebrutalan aparat keamanan.
Akan tetapi, apa pun penjelasan, dalam tahun ini saja sudah lebih dari 550 orang terbunuh. Celakanya, tak satu pelaku pun dapat dibekuk. Padahal, ribuan aparat keamanan ditempatkan di Provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat, yang berstatus darurat militer.
II. PERMASALAHAN
Hingga saat ini belum dijumpai adanya gerakan separatis yang nyata seperti halnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bahkan, GAM telah memiliki perwakilannya di luar negeri dan memiliki pasukan yang jelas melawan pemerintah. Dengan demikian langkah apa yang harus diambil oleh pemerintah Thailand unntuk mengatasi permasalahan yang terjadi di wilayah Thailand Selatan?
III. PEMBAHASAN
Sebenarnya permasalaham di Thailand Selatan tidak serumit seperti halnya di Aceh, meskipun latar belakang terjadinya pergolakan adalah sama yakni mersa kurang diperhatikan pemerintah dalam pembangunan.
Kunci yang terpenting dalam menyelesaikan hal ini adalah dialog. Dan ini perlu dimediasi oleh pihak ketiga yang dinilai netral. Penulis yang melakukan perjalanan ke dua provinsi yang genting mengambil kesimpulan perlu adanya dialog antara pemerintah dan masyarakat setempat.
Penulis juga sempat melakukan dialog dengan tokoh muslim Thailand yang tinggal di Yala – Thailand Selatan, diantara Ketua Youth Muslim Asociation Thailand (YMAT) Nik Nasir dan Penasehat YMAT Phaisal Dahlan yang juga cucu pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Hasil dari dialog singkat dan pengamatan situasi, muslim di sana welcome untuk penyelesaian sengketa di Thailand Selatan. Dan penulis juga tidak menjumpai organisasi-organisasi yang dituduhkan oleh Pemerintah Thailand. Hal ini berbeda dengan organisasi GAM yang jaringannya hingga sampai luar negeri.
’’Yang terpenting jangan ada pikiran yang negatif terhadap kami warga muslim yang tinggal di Thailand Selatan,’’ ujar Phaisal Dahlan dalam bahasa Inggris.
Bahkan, Phaisal memberi memberi contoh positif penyelesaian sengketa yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan di Aceh.
’’Dengan kondisi ini saya memprediksikan, Indonesia merupakan negara yang akan bergerak maju mengikuti China dan India di wilayah Asia. Hal ini juga disebabkan potensi penduduk Indonesia yang besar setelah kedua negara tersebut,’’ ujarnya.
Pembahasan dengan pemerintah di Thailand Selatan telah dilakukan. Bahkan pertemuan yang dimediasi oleh Malaysia dan diselenggarakan di Kuala Lumpur menghasilkan tujuh permintaan. Namun, sayang putra mahkota kerajaan Thailand kurang berkenan untuk memenuhi permintaan ini.
Peran Muhammadiyah
Muhammadiyah dapat berperan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Peran ini dapat diambil mengingat sejarah masuknya Islam di Thailand yang dinamakan sunnah yang sama dengan Muhammadiyah berkembang dengan pesat.
Buktinya, anak KH Ahmad Dahlan yakni Irfan Dahlan memilih bermukim di Thailand karena situasi politik yang belum memungkinkan untuk masuk ke Indonesia setelah belajar dari Lahore, India. Namun, perkembangan Muhammadiyah tidak sebagus di Singapura yang memiliki beberapa amal usaha seperti dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Oleh karena itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan Muhammadiyah mendorong Pemerintah Thailand agar bisa menyelesaikan konflik di Thailand Selatan dengan cara soft power. Muhammadiyah siap membantu ikut menyelesaikan konflik, namun bukan sebagai mediator atau juru runding, melainkan melalui pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.
“Dari serangkaian pertemuan saya minggu lalu dengan pemerintah dan Raja Thailand, meski tidak eksplisit, mereka meminta atau paling tidak menyetujui kalau Muhammadiyah terlibat penyelesaian konflik. Bukan sebagai mediator atau juru runding damai, namun sebagai faktor pendorong tampilnya Islam yang maju, moderat dan modern, misal lewat pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi mikro,” ungkap Din Syamsuddin, Senin (6/8) di sela-sela kunjungan para pengelola madarasah dan pejabat pendidikan Thailand Selatan di kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Din mengemukakan, dan kunjungan selama tiga hari 25-27 Juli, telah bertemu langsung dengan Raja Bhumibol Adulyadej, PM Thailand Surayud Chulanont, dan pemimpin militer Thailand Jenderal Sonthi Boonyaratglin. Dalam pertemuan itu, pihaknya meminta agar Thailand tidak lagi melakukan pendekatan hard power melalui kekuatan milter, namun lebih memilih pendekatan soft power yaitu melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan. “Pendidikan di selatan relatif terbelakang. Pendidikan Islam tidak maju, sangat sempit dan konservatif,” katanya.
Perubahan paradigma kini mulai ditunjukan pemerintah Thailand, meskipun tidak secara drastis. “Kesan saya ada permintaan mereka, atau setidaknya ada persetujuan mereka, supaya ada keterlibatan ormas Islam seperti Muhammadiyah dalam ikut menyelesaikan konflik di Selatan, namun permintaan itu tidak eksplisit. Kami sampaikan Muhmmadiyah siap membantu,” katanya.
Karena itu, pihaknya ingin membantu memberdayakan masyarakat melalui pendidikan Islam yang berkemajuan dan pemberdayaan ekonomi mikro. “Saya tadi sudah telpon dubes Thailand untuk kerjasama yang lebih konkrit. Muhammadiyah punya pengalaman mengelola pendidikan, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan sosial. Kita bisa mengirim guru mubaliq, atau tenaga yang mendorong pemberdayan ekonomi. Atau mereka bisa belajar singkat di sini,” katanya.
Dari pesan yang disampaikan oleh Din Syamsudin tersebut maka sepatutnya Muhammadiyah terutama Wilayah maupun Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang terletak dekat dengan wilayah Thailand Selatan dapat mengaplikasikan pemikiran dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Penulis yang kebetulan aktif di organisasi Muhammadiyah dan berdomisili di Batam ini menilai langkah yang diutarakan oleh Din Syamsudin ini dapat dilaksanakan. Apalagi dengan dukungan dari Muhammadiyah di Penang Malaysia dan PCIM Kuala Lumpur yang kebetulan berdekatan dengan Thailand Selatan. Dan ini semua dapat disatukan dengan mengikut sertakan Muhammadiyah Singapura dengan nama Muhammadiyah Internasional, perluasan dari Muhammadiyah ASEAN yang sekretariatnya berada di Batam.
’’Sudah saatnya Muhammadiyah ’’keluar’’ dalam melakukan dakwah. Terutama di luar’’sawah’’ yang jelas dipanennya,’’ ujar tokoh Muhammadiyah Penang Ustadz Wahab yang aktif berdakwah untuk suku asli Malaysia, Sakai.
IV. KESIMPULAN
Penyelsaian konflik di wilayah Thailand Selatan tidak cukup dengan adanya dialog. Tapi perlu adanya pembangunan masyarakat dengan yang disebut soft power. Memang, muslim di Thailand Selatan agak ’’terbelakang’’ dalam bidang kemaslahatan umat.
Meskipun sekolah baru berdiri besar terutama di Universtas Yala, namun di bidang lainnnya seperti ekonomi dan kesehatan belum berkembang dengan baik. Untuk itu perlu adanya peningkatan di bidang-bidang lainnya. Sehingga masyakat di sana semakin maju pola pikir dan secara otomatis akan membawa kemajuan dalam pembangunan di wilayah Thailand Selatan. Dengan sendirinya permasalahan kecemburan dalam pembangunan dapat diatasi.
V. PUSTAKA
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/20/sorotan/1445598.htm,Thailand Selatan dalam Geostrategi
http://www.kompas.com/ver1/Nasional/0708/06/195544.htm,Muhammadiyah Siap Bantu Masyarakat Thailand Selatan
Filed under: Internasional | 2 Comments »